Londo jadi dokter hewan
- Published in Cerpen
Oleh: Ursari
Suatu hari di Magelang tahun 1970. Roji sedang memegang katak hijau, hasil tangkapannya di sawah kemarin sore. Katak itu gemuk, dua tangan mungil Roji kesulitan menenangkannya.
Ketika pagi, cahayanya tidak sempurna. Ketika malam, mengakhiri kelelahan dengan sebait mimpi kusam. Maka akulah hidup yang tidak mengenali lagi perjalanan sendiri. Oleh: Ay Terhempas seribu kali setiap terkenang. Tidak ingin lagi merasai...
Ruang Temu Kasih Sayang Kepada :MasitaRiany Hari-hari ada tugas untuk diisiBukan lagi ruang hampa dan ruang sepiBukan pula waktunya menyendiri dan menepiIni ada tugas, yang mesti dijalani sepenuh hati
Kepada Bulan September Puisi: Novri Susan Aku mengejar waktu di bulan September Di keramaian yang tidak berkata apa-apa Di kesendirian yang berpeluh karena sesak kerinduan Setiap hari kupandangi kamu Lewat cakrawala pagi dan sore Lewat...
Oleh: Ursari
Suatu hari di Magelang tahun 1970. Roji sedang memegang katak hijau, hasil tangkapannya di sawah kemarin sore. Katak itu gemuk, dua tangan mungil Roji kesulitan menenangkannya.
Ketika pagi, cahayanya tidak sempurna. Ketika malam, mengakhiri kelelahan dengan sebait mimpi kusam. Maka akulah hidup yang tidak mengenali lagi perjalanan sendiri.
Oleh: Ay
Terhempas seribu kali setiap terkenang. Tidak ingin lagi merasai apapun, bukan karena sakitnya rindu. Bukan karena perih dari ujung-ujung sayap sunyi yang tajam. Namun, karena seluruh duniaku tak mungkin berputar tanpamu.
Waktuku kini adalah lorong-lorong panjang, berliku dan remang. Setiap membuka pintu, di baliknya adalah dinding dingin nan angkuh. Teriakan demi teriakan memanggilmu seperti seekor burung kecil terpukul hentakan badai. Tanp daya sambil memandang mimpi-mimpinya sendiri. Mimpi yang elok, akan tetapi kedua sayap penuh oleh luka. Luka itu ditoreh oleh pisau runcing keadaan.
Aku berkata padamu di setiap tarikan nafas. "Hatiku akan berjalan sepanjang hidup ini, untukmu."
Lalu kamu, seperti rembulan dengan cahaya di antara awan musim ini memberi senyum paling menawan. Namun, kedua matamu adalah pintu kedukaan melempar jiwa ini ke langit kosong. Aku tersudut di pojok ketakutan dan kesendirian. Lirih menetes, terasa dingin sehingga tubuh membeku.
Suaraku bersama hujan yang setiap hari turun. Begitu nyaring memukul, namun hampa. Perbincangan yang lalu, menggenang di alam pikiranku. Duniaku terhenti dari kesehariannya. Sebab mengingatmu adalah menyadari ketiadaan tubuhmu di dekatku. Yang berarti, kuseduh seduku dari awal matahari terbit, dan tenggelam.
"Hatiku adalah milikmu. Namun tidak tadirku untuk saat ini."
Katamu padaku ketika itu, entah kapan di antara waktu-waktu yang telah lalu. Namun tetap saja, aku mendengarnya setiap hari. Setiap detik, menyatu dalam nadi yang mencoba tetap hidup. Tahukah kamu, pemilik binar mata paling indah. Kata-kata yang kuucapkan dan tuliskan tumbuh dari ikatan ini. Yang tidak bisa dilepas oleh apapun kecuali masanya usai.
Setiap ruas jalanku adalah jalan kepadamu. Setiap pandanganku adalah pencarian garis akhir dari ketiadaan ini. Melukai atau terlukai adalah pilihan yang mesti dihadapi. Kemudian, tangisanmu mengadu tentang keterbatasan cinta di hadapan Tuhannya. Aku memekik dalam diam. Sebab itulah yang ada. Itulah yang lebih kuasa.
Aku kamu hampir sampai pada danau yang diingini siapapun. Dan malam yang hangat karena pergumulan rindu, kemudian menjadi bongkahan air beku. Api menyala di lidah karena ribuan gelisah menyalakannya. Kupanggili kamu. Kupanggili kamu. Kupanggili kamu. Sebab takut itu menjadi kain hitam menghalangi pandangan.
Kini aku tanpa cahaya di pulau paling jauh dari keramaian. Aku tak ingin menanti para pejalan yang ingin menemukanku dan menjemputku. Mereka akan dihadapkan pada kesia-siaan semata. Sebab aku akan keluar dari sini untuk menemukanmu. Sementara tetap kuseduh sedu.
Kamu Semar. Itu bukan takdir kebetulan. Tak pantas kamu berdukacita lantaran perkara keluarga. Bangsamu sedang mengambang di arus zaman. Keluargamu susah, tapi banyak yang jauh lebih susah. Mestinya kamu bisa lebih bijaksana, sebagaimana kisah-kisah itu melukiskanmu. Lagipula kamu sudah tua. Tak baik untuk percontohan yang muda-muda.
Hari-hari ada tugas untuk diisi
Bukan lagi ruang hampa dan ruang sepi
Bukan pula waktunya menyendiri dan menepi
Ini ada tugas, yang mesti dijalani sepenuh hati
Persetubuhan Menir
( puisi habis untuk sdr tua " espoer wanta " )
Kepada Bulan September
Puisi: Novri Susan
Aku mengejar waktu di bulan September
Di keramaian yang tidak berkata apa-apa
Di kesendirian yang berpeluh karena sesak kerinduan
Setiap hari kupandangi kamu
Lewat cakrawala pagi dan sore
Lewat mimpi dan mimpi yang sama
Hai terkasih, kamu harus tahu
Bahwa aku selalu tergopoh memikirkanmu
Aku menyerahkan hatiku pada hati bulan September
Pada saat aku menuliskannya hari ini
Atau pada saat hari itu
ketika suaramu adalah kerlipan hidup
Dtimang oleh kasih sayang
Oleh binar-binar cumbu Ibu yang menari di parasmu
Malam ini aku bergelimang sunyi
Berharap di dekatmu
Berdoa bersama kepada Tuhan kita
Agar duniamu selalu subur dan lapang
Agar duniamu tidak terpisah dari duniaku
Namun yang paling berharga adalah suka citamu
Suka cita saat ini dan nanti
Aku mengejar waktu di bulan September
Karena aku mencintaimu
NS (#200610) Surabaya
Keberadaan, ke-penting-an, nilai sketsa memang tak seperti dulu. Perkembangan seni rupa (kita) yang makin matic berakibat ditinggalkannya bahasa, media ini. Meskipun ada beberapa gerakan untuk "kembali ke asal" lewat sketsa, tapi lebih pada aksi, nostalgia, daripada mencari, mengupas nilai garis, sapuan, blok, ruang, dan lain-lain.
Beda dengan era Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, dkk hingga era ASRI yang dekat dengan media ini, baik sebagai proses menempa diri, keterbatasan media hingga menjadi karya yang selesai. Dalam era itu, kita bisa melihat dan merasakan kepercayaan pengungkapan ekspresi perupa pada torehan-torehan tinta, baik yang lembut, samar, sampai yang berat, tandas.
Sketsa, sebagai media yang paling dekat, sederhana, murah, sebenarnya lebih mampu menangkap lintasan-lintasan, getaran-getaran, hingga gerak-gerak paling jauh, liar, atau mustahil, sebab ia bersifat lebih personal, saat itu, apapun adanya, lepas.
Sering terjadi seorang pelukis lebih berani di lembar kertasnya, lebih kuat daripada bidang kanvasnya.
Kita menemukan banyak sisi yang muncul dalam sketsa, seperti ketiba-tibaan, ketaksengajaan, kegagalan, kekurangan, dan sebagainya yang justru melahirkan keindahan-keindahan atas ketaksempurnaan.
Dalam sketsa-sketsa Goenawan Mohamad (GM) ini, kita menemukan gerak dan lintasan-lintasan sesaat yang datang itu. Tidak usah mempersoalkan ia sebagai penulis atau pelukis. Siapapun berhak mengutarakan pendapatnya lewat bahasa yang paling tepat. Pelukis tak selalu cukup dengan bahasa rupa dan penulis pun tak tuntas juga dengan huruf-hurufnya.
Sebagai penulis senior, kawakan, ia pasti telah mengenal dunia seni, senirupa, dan senimannya. Mungkin juga ia sempat bertanya dan mengolah sambil jalan apa arti sebatang garis pada entah siapa hingga membentuk garis-garisnya sekarang.
Ia bukan pemburu obyek kuli pasar, kuburan, pantai, jalan raya, atau kebun binatang yang sedikit demi sedikit menyimpan kesan lalu membangunnya menjadi bahasa atau karakter sendiri seperti teman-teman pelukisnya. Garisnya tidak meledak-ledak, emosional, membakar, tapi halus, luwes, dan beberapa mengingatkan kita pada garis Oesman Effendi atau Mochtar Apin.
Ada yang hampir penuh dengan sapuan hitam, beberapa garis tebal-tipis, sering juga hanya satu obyek kecil yang mencelos seperti di kejauhan sana.
Semua obyeknya hampir ditaruhnya di tengah, lalu ia membangun cerita, suasana, atau pemadatan waktu lewat teks-teks, goresan-goresan, sapuan-sapuan, juga obyek-obyek yang lebih kecil, jauh, hingga terbangun keseimbangan, keutuhan, keselesaian yang tak kunjung. Seperti kenakalan dan kehati-hatian yang sambung-menyambung, bergelut.
Apapun yang hendak menariknya, bahkan ketertarikannya, diredamnya, tak sampai meledak, lalu kembali ke tengah.
Obyek yang muncul atau diletakkan di tengah menciptakan komposisi yang stabil, juga menimbulkan rasa tenang, mantap, aman, agung, tapi bisa juga menjadi mati, terlalu jelas, mandeg.
GM memahami komposisi ini. Ia bukan ombak yang menggelora di tepi, tapi naik turun di tengah. Teks-teks yang sering berupa puisi-puisi pendek mengajak kita pergi, bukan memaku di gambarnya. Benda/obyeknya menjadi tanda pada apa yang terjadi di kepalanya, pikirannya.
Ia bekerja berdasar pada ingatan, lintasan, atau pikiran yang muncul, bukan pada panca indera yang tercekam obyek di depannya hingga garisnya tak ada yang tiba-tiba begitu, urgen, "keluar," seperti pada sketsa-sketsa on the spot umumnya.
Ia cenderung hati-hati, dingin. Mungkin ia tidak menyentuh, meraba, tapi meneropong dari menaranya dari berbagai sudutnya. Ia hidup di kamarnya, menaranya, walaupun dalam beberapa teks pendeknya ia seperti ingin keluar, berjalan ke semak-semak ilalang, bertualang hingga ke negeri-negeri penuh kabut.
Komposisi tengah GM, seperti ia tengah mengambil jarak dari keriuhan, khaos, agar ia bisa (berusaha) melihat dengan tetap dingin dan rasional. Tengahnya merupakan kamar pribadinya yang memungkinkannya memuntahkan apa saja, tanpa ingin di"dengar," di"ganggu," di"intip," dari luar. Tapi pola kerja demikian lebih memungkinkan untuk bermain, mencoba, mengukur, menggali, atau bereksperimen dengan semua elemen.
GM mempertahankan bentuk "obyek" (fantasi). Ada sedikit deformasi sebagai daya ungkap. Kemunculan bentuk-bentuk deformatif, vignetis itu sepertinya didapatnya dari bentuk-bentuk patung primitif, wayang, atau motif-motif lain yang ditemukannya di mana-mana, seperti ia menjumput cerita-cerita, legenda-legenda, dan mitos-mitos dari berbagai sudut, suku bangsa di manapun, lalu menariknya menjadi "miliknya," mewakili, mengilustrasikan itu sebagai peristiwa serupa yang berlangsung di sekitarnya.
Obyek yang kerap muncul adalah perempuan, baik secara harafiah atau ia meng-atmosfer-kannya. entah sebagai simbol ibu, bumi, hidup, atau kekasihnya. Bisa juga perempuan menjadi simbol keindahannya, idealnya, cinta sekaligus tragedinya, dunia purba yang matriarkal, persetubuhan yang gelap, atau sosok ibu di masa lalu.
Lewat sketsa, GM membeberkan tentang apa saja yang melintas dalam pikirannya. Ia menjalar ke mana-mana melalui wayang, dongeng, mitologi, perempuan, bumi. Ia seperti juga sedang mewakili zamannya yang telah melewati sekat-sekat, batas - kakunya gerak dengan bermacam bahasa. Tahu dan sadar sebagai putera modernitas, dengan segala perkembangan dan akibatnya, ia melihat, mengalami, menumpahkannya tidak hanya dengan bahasa kata, tapi mencari berbagai bahasa yang paling mengena, termasuk juga dengan bahasa sketsa.
Tulisan ini tak lain usaha untuk melihat indikasi praktik seni dan perilaku pelukis disekitar kawasan tertentu di kota Jakarta, yang mempunyai kecenderungan unik. Tidak semua pelaku melakukan hal yang identik dan sama. Saya tidak menggeneralisir kebiasaan tetapi upaya untuk memetakan gejala yang melekat sesuai apa yang mereka citrakan.
Jarang kita temui saat ini, puisi yang merekam esensi keresahan sosial, atau membicarakan keresahan rakyat tertindas. Puisi seakan telah kehilangan potensi revolusionernya.
Prolog - Istana Naga
feodalisme, kebebasan, cinta, penghianatan, kekuasaan, mimpi
Istana dibangun di atas kekuasaan dan wewenang yang dititahkan sebagai takdir. Berdiri diantara takdir-takdir yang kecil sebagaimana warna dan kelengkapan cerita. Semua berjalan menumpang waktu yang bergerak tanpa henti. Istana adalah kehendak bagi Tuhan dan segala tuhan kecil dalam tubuh manusia, jin dan mahluk lain yang berjiwa. Setiap jaman punya cerita, setiap jaman punya nasibnya sendiri.
Tentang Hati
(Bag. 3)
Sudah pukul 2 pagi dini hari waktu Kyoto. Zali belum bisa tertidur. Biasanya pukul sepuluh sudah tenggelam ke dasar mimpi paling dalam. Kamar berukuran 4x4 meter terlihat padat. Meja kecil di dekat pintu kamar penuh oleh buku-buku. Beberapa baju tergantung di kastok dari kayu berawarna coklat. Karpet hijau kecil terhampar di dekat tempat tidurnya yang cukup untuk dirinya seorang. Laptop masih menyala di atas meja kecil yang bisa dilipat. Satu gelas teh dingin masih tersisa setengah di samping laptop. Secara umum kamarnya cukup bersih dan rapi.
Kyoto, Aku Jatuh Cinta (2)
Kyoto termasuk salah satu kota paling tua dan pernah menjadi ibu kota Jepang sebelum pindah ke Tokyo. Bangunan-bangunan klasik masih dipelihara sangat baik. Sungai-sungai bersih dan dihiasi taman-taman bunga. Suasana indah yang bisa menjadi terapi bagi warga setelah kelelahan beraktivitas. Salah satu sungai kota yang sering dijadikan Zali sebagai tempat merenung adalah Kamogawa atau sungai bebek. Kamo berarti bebek dan gawa adalah sungai. Kamogawa yang melintasi suatu daerah bernama Sanjo merupakan titik pertemuan sosial yang paling ramai di Kyoto. Para remaja dan tua seringkali duduk-duduk di Kamogawa Sanjo. Terutama pada musim semi dan gugur. Terutama pada malam minggu dan liburan nasional. Para seniman jalanan melakukan berbagai atraksi. Perpaduan area sungai yang bersih, nyaman dan hiburan para seniman merupakan ciri keindahan Kyoto.
18 November 2017 |Esai
Catatan Ugo Untoro atas Pameran Drawing dan Sketsa Goenawan Mohamad Keberadaan, ke-penting-an, nilai sketsa memang tak ...
11 November 2017 |Puisi
Ruang Temu Kasih Sayang Kepada :MasitaRiany Hari-hari ada tugas untuk diisiBukan lagi ruang hampa dan ruang sepiBuka...
25 July 2017 |Esai
Oleh : Mayek/perupa Tulisan ini tak lain usaha untuk melihat indikasi praktik seni dan perilaku pelukis...
07 June 2017 |Esai
Jarang kita temui saat ini, puisi yang merekam esensi keresahan sosial, atau membicarakan keresahan rakyat tertindas. Pu...
13 May 2017 |Esai
Upacara-upacara ritual yang berhubungan dengan para dewa atau kekuatan ghaib yang dianggap supernatural merupakan salah ...
09 January 2017 |Cerpen
Oleh: Ursari Suatu hari di Magelang tahun 1970. Roji sedang memegang katak hijau, hasil tangkapannya di sawah kemar...
15 December 2016 |Esai
Oleh: Dedi Yuniarto Enam perupa berbeda daerah asal yakni AT Sitompul (Medan), Dedy Sufriadi (Palembang...
01 October 2016 |Puisi
Persetubuhan Menir( puisi habis untuk sdr tua " espoer wanta " )
10 September 2016 |Puisi
Kepada Bulan September Puisi: Novri Susan Aku mengejar waktu di bulan September Di keramaian yang tidak berka...
26 August 2016 |Esai
Ihwal kuasa dan konstitusi, nama Machiavelli tib-tiba berkelebat di benak saya. Melihat kelindan kuasa dan konstitusi di...
11 July 2016 |Puisi
Puisi-puisi NS malamku milikmu Kubaca malam dari bintang-bintang dan desir sunyinya adalah perja...
07 June 2016 |Puisi
(Di) suatu waktu Oleh: NS aku ingin membagi teh hangat ini kepadamu yang kuseduh di cangkir warna putih dengan...
31 January 2016 |Cerpen
Ketika pagi, cahayanya tidak sempurna. Ketika malam, mengakhiri kelelahan dengan sebait mimpi kusam. Maka akulah hidup y...
28 October 2015 |Puisi
I. (Di) taman ketika Aku adalah benih yang tumbuh segar Tumbuh elok tanpa seragu debar Tumbuh di tanah jiwamu berbunga...
29 June 2015 |Puisi
Ketika rakyat telah sendirian….. Ditinggalkan oleh para pemimpinnya Apa tetap rakyat akan percaya pada pemimpinya...
17 June 2015 |Cerpen
Kamu Semar. Itu bukan takdir kebetulan. Tak pantas kamu berdukacita lantaran perkara keluarga. Bangsamu sedang mengamban...
02 June 2015 |Puisi
Negeri Seolah-olah Negeri Seolah-olah Seolah-olah diolah Di olah untuk seolah-olah Pre...
29 April 2015 |Cerpen
Terkurung oleh batas. Aku menahan harap tercambuk cemas. Berdiri di pinggirannya menahan isak. Ribuan sayap cinta membur...
04 January 2015 |Esai
Jorge Luis Borges melalui pengantar bukunya Sejarah Aib, mengatakan dengan humornya yang khas bahwa “gaya yang dengan se...
16 December 2014 |Esai
Sastra adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses rumit dari kegelisahan si penulis atas kondisi ketegangan masyarakat ...
22 November 2014 |Cerpen
dari tempat ini kami menggigit langit KAWAN saya sempat bersungut-sungut saat tahu parkir di warung kopi ini sekarang b...
23 October 2014 |Novel
Prolog - Istana Naga feodalisme, kebebasan, cinta, penghianatan, kekuasaan, mimpiIstana dibangun di atas kekuasaan dan ...
20 September 2014 |Puisi
Kau telah membaca sajak kitab dalam isi kepalakuMungkin kau temukan gumpalan sampah,Yang telah berubah rambut putih beru...
11 September 2014 |Cerpen
Oleh: M. Faishal Aminuddin Perang itu mengakhiri sesuatu, tapi tak cukup buat menyudahi segala sesuatu. Tito bersau...
08 September 2014 |Puisi
Jatuh di simpuhmu (Di) setelah lelah menyaput terlena mengambang rasa tak tersudahi membelantara nafas bertanya se...
04 September 2014 |Esai
Tulisan ini menanggapi tulisan saudara Ranang Aji SP Atropi dan identitas kebudayaan, Solo Pos edisi 13 Februari 2011,...
04 September 2014 |Esai
Penduduk suku Bakung dari Mahak-Dumuk di pedalaman Pulau Kalimantan dewasa ini sedang dalam proses kehilangan identita...
01 September 2014 |Cerpen
Oleh : DS Priyadi Ia hanya lelaki biasa. Ia pun mengalami tua. Ya. Aku adalah saksi. Dan semua orang pun sebenarnya...
26 August 2014 |Cerpen
Oleh: Ay Beberapa cahaya mungil berterbangan diantara daunan. Begitu malam yang terhampar hampa. Mengingat tidak l...
16 August 2014 |Puisi
Menjemput kemerdekaan.....Ketika pagi hari masih terbungkus selimut dan terlelap dalam tidur apa itu sebuah kemerdekaan....
15 August 2014 |Cerpen
Secinta, dunia kini mengecil dan sempit. Kurasa demikian. Sejak ruhmu meninggalkan ruhku beberapa waktu lalu. Seperti ki...
02 August 2014 |Cerpen
Cerpen oleh: Mas Jiwandono Karim mempersiapkan segala keperluan untuk pengajian rutin yang diadakan setiap bul...
01 August 2014 |Cerpen
Oleh: Ranang Aji SP Tiga hari tiga malam langit gelap telah mengguyurkan hujan deras ke kota ini. Hari pertama ...
21 July 2014 |Puisi
Luka yang Diabadikan I. Janji ini, sejauh kita menulis jejak terucapkan di atas bibir purnama Dan jalan ini menangga...
03 July 2014 |Puisi
Menghisap sebatang lisongMelihat Indonesia RayaMendengar 130 juta rakyatDan di langitDua tiga cukong mengangkangBerak di...
03 July 2014 |Puisi
Rendra membaca puisi dalam sebuah acara di Surabaya tahun 2009. Puisinya Maskumambang, adalah renungan tentang bagaimana...
08 May 2014 |Puisi
(Di) solilokui malam kulihat wajahmu berseri seperti pagi itu ketika cahaya dari timur terbangun dari peradua...
20 April 2014 |Cerpen
Oleh: Yogi Ishabib Seperti anak-anak perempuan pada masanya, aku memimpikan kehidupan yang indah. Aku yang dilahirkan ...
08 March 2014 |Cerpen
Oleh: Yogi Ishabib Pernah diceritakan, bahwa pada masa yang teramat lampau seorang laki-laki mendaki gunung untuk berte...
08 March 2014 |Novel
Tentang Hati (Bag. 3) Sudah pukul 2 pagi dini hari waktu Kyoto. Zali belum bisa tertidur. Biasanya pukul sepuluh sudah...
08 March 2014 |Cerpen
Oleh: Retno Ayu Setelah lima tahun kuhabiskan waktu di luar negeri untuk sekolah, kini kuhirup kembali udara kota asalk...
03 March 2014 |Novel
Kyoto, Aku Jatuh Cinta (2) Kyoto termasuk salah satu kota paling tua dan pernah menjadi ibu kota Jepang sebelum...
01 March 2014 |Novel
Sudah hampir tiga tahun dia hidup di the City of thousand temples, Kyoto. Namanya Gazali, akrab dipanggil Zali. Satu kat...
28 February 2014 |Cerpen
Oleh: Retno Ayu Rafni termangu. Hujan begitu deras siang hari ini. Jendela kaca kamarnya berembun. Udara dingin menguy...
28 February 2014 |Puisi
(Di) Hati Menetes sisa hujan adalah hati yang menetes di dinding-dinding bangunan sepi di antara ranting dan daunan rem...
07 February 2014 |Cerpen
Oleh: Mohammad Maos Bumi November. Awal hujan. Bumi mulai basah. Saat basah, seperti ada kehidupan baru, kesibukan baru...
06 December 2013 |Cerpen
DS Priyadi Di ruang yang serba transparan lelaki tua itu berdiri. Aku memanggilnya Han. Ia lahir di pinggiran Pekal...